Kamis, 08 Agustus 2013

Sejarah Karinding


Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1]
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.

Jumat, 02 Agustus 2013

Belajar Menulis dan Membaca Aksara Sunda

03 Agustus 2013
25 Ramadhan 1434

Huruf Konsonan:

HA  NA  CA  RA  KA     DA  TA  SA  WA  LA     PA  JA  YA  NYA      MA  GA  BA  NGA
ᮠ   ᮔ  ᮎ   ᮛ  ᮊ    ᮓ   ᮒ  ᮞ  ᮝ ᮜ    ᮕ  ᮏ  ᮚ  ᮑ     ᮙ   ᮌ  ᮘ   ᮍ
Keur Kecap Asing: FA QA VA XA ZA
                     ᮖ ᮋ ᮗ ᮟ  ᮐ
Konsonan Tambahan: KHA SYA
                                  ᮮ  ᮯ

Huruf Vokal:

É    A   I  U    E  O  EU 
ᮆ ᮃ ᮄ ᮅ ᮈ ᮇ ᮉ

Huruf vokal tsb. digunakan apabila tidak digunakan oleh huruf konsonan, seperti aksara "i" dalam kata "indung", aksara "a" dalam kata "air" dsb. sedangkan huruf konsonan di dalam aksara sunda ha, na, ca, ra, ka dsb. jika ingin diubah menjadi ke, ko ki, dsb, harus memakai huruf kiasan.

 Ada 14 kiasan yang digunakan dalam 3 kategori:
  1. Kiasan yang ditulis di atas aksara,
  2. Kiasan yang ditulis di bawah aksara,
  3. Kiasan yang ditulis sejajar dengan aksara. 

 1. Lima macam aksara di tulis di atas aksara: 

   =panghulu, untuk merubah kecap "a" menjadi "i", contoh: ᮘᮤ =bi
   ᮨ=pamepet, untuk merubah kecap "a" menjadi "e", contoh: ᮘᮨ =be
   ᮩ=paneuleng, untuk merubah kecap "a" menjadi "eu", contoh: ᮘᮩ =beu
   ᮁ=panglayar, untuk merubah kecap "-r" di akhir kecap, contoh: ᮘᮁ =bar
   ᮀ=panyecek, untuk merubah kecap "-ng" di akhir kalimat, contoh: ᮘᮀ =bang

2. Tiga macam kiasan ditulis di bawah aksara:

   ᮥ=panyuku, untuk merubah kecap "a" manjadi "u" contoh: ᮘᮥ =bu
   ᮢ=panyakra, untuk menambah sora "-r-" diantara konsonan dan vokal, contoh: ᮘᮢ =bra
   ᮣ=panyiku, untuk menambah sora "-l-" diantara konsonan dan vokal, contoh: ᮘᮣ =bla


3. Lima macam kiasan ditulis sejajar dengan aksara:

 ᮦ =pane'le'ng, untuk merubah kecap"a" menjadi "e'", contoh: ᮘᮦ =be'


 ᮧ=panolong, untuk merubah kecap "a" menjadi "o", contoh: ᮘᮧ =bo
 ᮡ=pamingkal, untuk menambah sora "-y-" diantara konsonan dan vokal, contoh: ᮘᮡ =bya
 ᮂ=pangwisad, untuk menambah sora "-h" diakhir kalimat,contoh: ᮘᮂ =bah
 ᮪=pamaeh, untuk memberhentikan suara apabila tidak ada huruf vokal, contoh: ᮘᮘ᮪ =bab


Mungkin sekian dari saya ma'af apabila ada kesalahan, mohon tegur, atau ada kekurangan kalimat. Mudah-mudahan dengan adanya ini aksara sunda tidak akan punah. Amienn...

Penulis, Wildan Ahmad Naufal